Kisah Ispiratif

Selasa, 14 Juni 2011

Be Your Self


Ya, menjadi diri sendiri terkadang begitu berat. Kita terlalu banyak mengidolakan seseorang. Sampai-sampai kita berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadi orang yang kita idolakan itu. Menyamakan diri kita seakan kita adalah duplikasi atau kembarannya. Apapun kita lakukan, dari segi bicara, pakaian, sikap, bahkan senyuman pun berusaha kita samakan. Jika ada orang mengatakan bahwa kita mirip dengan orang kita idolakan, sungguh bangganya kita. Apalagi jika ada orang yang mengatakan bahwa, kita adalah kembarannya atau pasha ke dua, justin ke dua, adiknya Mario teguh (misalnya), dan lain sebagainya, pasti kita akan sangat bangga.
Tapi perlu kita ingat dan camkan bersama teman. Sekarang ada dua pilihan di tangan kita. Kita ingin sukses dan dikenal banyak orang, tetapi di bawah bayang-bayang nama orang lain. Ataukah kita bisa sukses dan terkenal tanpa berada di bawah bayang-bayang orang lain, alias itu karena usaha Kita.
Jika kita memilih yang pertama, maka selamanya kita tidak akan menjadi orang yang nomor satu. Kita akan menjadi yang nomor dua bahkan menjadi nomor tiga dan seterusnya. Seberapun kesuksesan kita, seberapa keraspun kerja dan usaha kita, kita tidak akan menjadi nomor satu. Kita akan disebut-sebut tetapi dengan bayang-bayang nama orang lain.
Mungkin ada yang berfikiran “Nggak apa-apa deh, jadi nomor dua, yang pentingkan bisa sukses”. Hai sobat, sekali sukses ya harus sukses. Jadilah sorang pemenang sejati. Jadilah yang nomor satu. Hidup Cuma sekali, mari kita manfaatkan dengan semaksimal dan sebaik mungkin hidup ini. Janganlah ada penyesalan di hari nanti.
Jadi, jadilah diri sendiri untuk menggapai sebuah kesuksesan. Banggalah pada diri kita. Dengan potensi yang kita miliki dan yang terpenting banggalah dengan apa yang telah Allah berikan pada Kita. Apapun itu, walau terkadang orang mengatakan apa yang kita punya ini adalah jelek, buruk, kita tidak punya potensi. Itukan kata orang, Kita yakin kita pasti bisa.
Percayalah pada diri kita, tidak salah mengidolakan seseorang, menjadikan ia motivator kita. Dan kita ingin bisa menjadi seperti dia. Tidak salah, itu benar. Tapi alangkah baiknya semua  presepsi itu kita ubah. Kita boleh mengagumi seseorang, meniru jalan suksesnya, mencontoh dia. Tetapi yang terpenting “Saya harus menjadi lebih baik dari dia, menjadi lebih sukses daripada dia”…
Jadikan idola kita, orang yang kita kagumi menjadi motivator yang kita menjadi batu loncatan dan tumpuan dalam perjalanan kita. Jadilah diri sendiri. Buat kita nomor satu dan buat diri kita sukses tanpa harus dibayang-banyangi nama oranglain. Buat semua orang mengenal kita dengan menyebut nama kita saja, tidak ada nama-nama orang lain yang disematkan pada nama kebanggaan kita itu. Tetap semangat. Jadilah diri sendiri, maksimalkan potensi, syukuri apa yang telah Ia berikan kepada kita. Sekian

Senin, 21 Februari 2011

Lonceng Berdarah


            Alkisah, ada sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan seorang anaknya. Setelah kepergian sang kepala rumah tangga, ibu ini bersusah payah berkerja demi menghidupi keluarganya. Namun ia tidak menyesali dan juga tidak bersedih harus bekerja terus menerus walau dia seorang wanita. Tapi dia sanngat kecewa dan sedih melihat tingkah laku anaknya yang begitu buruk. Anaknya suka berjudi, mencuri, dan segala kejahatan-kejahatan lainnnya sering ia lakukan.
            Di setiap doanya sang ibu tidak bosan-bosan untuk terus meminta kepada Allah agar anaknya diberi hidayah dan ia memohon agar sebelum ia meninggal nanti, ia masih diberi kesempatan untuk melihat anaknya bertaubat.
            Suatu ketika, si anak ini ketahuan mencuri di rumah salah satu penduduk desa di.sana Dan ia langsung dibawa ke hadapan raja untuk diadili. Sesuai dengan adat serta hokum di daerah itu, bahwa seorang pencuri yang tertangkap basah maka ia harus di hokum mati dengan cara di pancung. Akhirnya hukuman pun dijatuhkan dan di tetapkan dua hari lagi ia akan di eksekusi di tengan lahan lapang dan disaksikan oleh semua penduduk desa.
            Sang ibu yang sudah sangat tua mendengar kabar tersebut bertambahlah kesedihannya. Ia berusaa menemui sang raja bdan minta agar diringankan hukuman bagi anaknya dan ia juga rela untuk menggantikan hukuman bagi anaknya. Tapi sang raja tetap dalam pendiriannya.
            Hari eksekusi pun tiba, semua warga desa telah berkumpul di tempat yang telah di tentukan. Semua warga ingin sekali menyaksikan pencuri itu di hokum pancung. Algojo telah siap dengan pedang besar dan tajamnya itu. Tinggal menunggu komando dari sang penjaga lonceng. Karena kepala baru bisa dipenggal setelah lonceng berbunyi. Kepala si anak ini telah berada tepat di atas alat pemancung. Di detik-detik akhir hidupnya, ia teringat wajah ibunya yang begitu tua dan ia menyesal dengan apa yang telah ia perbuat selama ini. Penyesalan yang sangat luar biasa tapi tak ada gunanya, karena sebentar lagi berakhir sudah hidupnya di pancungan tersebut.
            Seudah beberapa menit menunggu tetapi lonceng itu tidak berbunyi sama sekali. Di tarik-tarik tali yang digunakan untuk membunyikan lonceng besar itu dengan kuat, tetapi lonceng itu tak kunjung juga berbunyi. Raja, warga dan para algojo pun kebingungan. Di tambah dari dalam lonceng itu mengalir darah.
            Akhirnya petugas lonceng itu naik ke atas dan memeriksanya. Semua orang tercengang ternyata di sana ada wanita tua yang mengakatkan dirinya di tenggah bandul lonceng itu untuk menahan agar lonceng itu tidak berbunyi. Karena itulah kepala wanita tua itu pecah berbenturan terus menerus dengan lonceng. Pecahlah tangis si pencuri ini karena ternyata wanita tua itu adalah ibu kandungnya. Ia rela untuk mengorbankan dirinya hanya untuk berusaha menunda hukuman bagi anaknya walaupun hanya sebentar.
            Wanita tua itu meninggal dengan keadaan tersenyum, karena ia memohon kepada Allah dalam setiap doanya untuk melihat anaknya bertobat akan kesalahannya. Dan ia melihat itu semua walau di akhir hidupnya dan juga sekaligus akhir hidup dari anaknya. Doa wanita tua yang begitu tulus dan segala pengorbanannya yang begitu besar kepada sang anak akhirnya membawanya ke hadapan yang maha pencipta.

Selasa, 15 Februari 2011

Kisah Seekor Kupu-Kupu


            Suatu sore, di belakang rumah ada seorang anak yang sudah berusia remaja sekitar 19 tahun dengan seorang ibu yang telah berusia lanjut. Mereka saling bercengkrama di belakang rumah yang teduh karena banyak pepohonan nan rindang dan banyak bunga-bunga yang indah pula. Tiba-tiba ada seekor kupu-kupu manis yang hinggap di atas sebuah bunga. Sang ibu,”Anaku coba lihat di atas bunga itu. Apakah itu?” sang anak langsung melihat bunga yang dimaksud ibunya.”Itu kupu-kupu ibu.” Jawabnya. Ibunya hanya tersenyum memandangi anaknya.”Anaku, apakah itu?” Ibunya bertanya lagi. “Itu Kupu-kupu Ibu.” Jawab sang anak untuk kedua kalinya.“ Sang ibu pun hanya tersenyum dan bertanya kembali, “Anakku, apakah itu?” “Ibu itu kupu-kupu.” Sang anak mulai agak jengkel dengan pertanyaan ibunya. Ibunya kembali tersenyum dan bertanya untuk yang keempat kalinya,”Anaku apa itu?”.”Kupu-kupu ibu, itu kupu-kupu!” Dengan suara keras dan jengkel sang anak menjawabnya.
            Sang ibu hanya tersenyum dan pergi meninggalkan anaknya menuju kamar pribadinya. Disana ia membuka sebuah lemari dan terdapat buku kecil yang agak kusam. Ia buka lembar demi lembar, terdapat corat-coretan indah di sana. Ternyata itu buku diarynya 14 tahun yang lalu. Buku yang senantiasa menemani hari-harinya. Setelah agak lama lembaran demi lembaran ia buka, ia berhenti pada satu lembaran yang berisi kisah 14 tahun yang lalu. Masih tertulisa dengan jelas sebuah kisah ia dengan anaknya yang masih berumur 5 tahun.
            Dalam lembaran itu tertulis ada dua orang yang sedang bermain gembira, yaitu ibu dengan anaknya yang berusia 5 tahun. Di tengah kegembiraan mereka ada seekor kupu-kupu yang hinggap pada sebuah bunga di taman belakang rumah meraka. Sang anak bertanya pada ibunya,”Ibu apa itu ibu?”, sang ibu tersenyum dan menjawab, “Kupu-kupu anakku.”. Sang anakpun bertanya kembali,”Itu apa ibu?” “Kupu-kupu anakku.” Pertanyaan it uterus terulang sampai beberapa kali. Tapi sang ibu masih dengan setia, dengan penuh kasih sayang dan lembutan menjawab,”Kupu-kupu nak.” Membaca ceritanya sendiri sang ibu hanya bisa meneteskan airmata Tiada bosan ia mengasihi anaknya.
            Luar biasa kesabaran seorang ibu kepada anaknya. Dari ia masih di dalam kandungan sampai ia tumbuh dewasa pun kasih sayangnya tiada henti. Dia begitu sabar dalam menjaga dan merawat kita. Malam ia korbankan demi kita, mimpi ia kesampingkan demi kita, makan pun ia sisihkan untuk kita. Segala kepentingannya ia relakan demi memenuhi kebutuhan kita. Tapi terkadang dengan mudah mulut ini membentak, membantah bahkan menghina orang begitu berjasa dalam hidup kita.
            Sahabat, ingatlah ia dulu begitu sabar. Akankah pengorbanan dan segala kesabarannya kita balas dengan kemarahan, ketidaksaran kita dan kelakuan kasar kita kepadanya. Tegakah kita membuat ia menangis sendiri di sudut rumah karena tidak percaya akan tingkah laku kita. Mari perbaiki ucapan dan tuturkata kita kepadanya. Maafkan aku Ibu …

 By : Rendi Handoko

Jumat, 19 November 2010

Ujian Pertama di Pagi Hari


Jalan dakwah tak pernah sepi dari apa yang namanya halangan dan rintangan. Ketika seorang muslim terlebih seorang remaja yang menjdai aktivis dakwah, halangan dan rintangan seakan tak pernah berhenti untuk menghalang-halangi dakwah tersebut. Seperti yang dialami oleh seorang pemuda yang berusaha mengabdi kepada agama, berdakwah mengenalkan Islam di tengah godaan hawa nafsu yang melanda seorang remaja. Namanya Sofyan Nur Rohim
Kisah Ini bermula ketika dia menjalankan tugas dari sekolahnya untuk menghadiri undangan seminar di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat, tepatnya di Dinas Kabupaten Sragen. Maklum, di samping dia adalah aktivis Rohis yang terkenal kuat dan tegas di sekolahnya, dia juga aktivis OSIS yang mempunyai pengaruh besar di organisasi tersebut. Banyak guru yang menaruh perhatian pada remaja ini, karena walaupun dia seorang aktivis organisasi tetapi kemampuan dan prestasinya di bidang akademik juga secemerlang karirnya di organisasi. Jarang sekali Sofyan mendapat nilai tujuh, rata-rata nilainya di atas tujuh. Ini membuktikan bahwa seorang aktivis harus bisa mengimbangi semua kegiatannya agar tidak ada satu bidang yang terabaikan. Ini sebenarnya yang menjadi permasalahan banyak aktivis. Mereka Berjaya di organisasi tetapi ternyata sangat menyayangkan perstasinya dalam keakademikan. Sungguh hal yang sangat memprihatinkan.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB, ini berarti Sofyan dan keempat temannya harus segera berangkat ke tempat seminar tersebut. Jumlah siswa yang mewakili sekolah tersebut ada enam orang, terdiri dari tiga orang laki-laki dan tiga orang wanita. Tentunya mereka berangkat menggunakan sepeda motor dan mestinya juga boncengan, karena yang membawa motor ketika itu cuma 3 orang, itu pun laki-laki semua yang membawa. Nah, ini menjadi ujian pertama bagi Sofyan pada hari itu.
“Aku harus membonceng seorang wanita atau cewek yang jelas-jelas bukan mahram. Itu tentu suatu larangan agama, dan jelas saya tahu.” Pikir Sofyan dalam hati. Sofyan masih mencari-cari kalimat yang tepat untuk menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan fitnah tersebut.
“Eh maaf.” Sofyan memulai percakapan dengan teman-temannya.
“Ya da apa Sof.”
“Begini, kan sepedanya ada tiga sedangkan kita ada berenam, jelas kita pasti boncengan. Tapi aku punya usul bagaimana jika aku boncengan dengan Budi, sedang Dodi dengan Rini, trus Rita dengan Mifta, gimana ?” terang Sofyan kepada teman-temannya yang sedang merapikan jaket mereka.
“Waduh Sof, apa kamu nggak salah, Rita dan Mifta kan cewek, masak kamu tega gebiarin mereka naik sepeda boncengan boncengan di jalan raya?” Ucap Doni yang agaknya tidak setuju dengan usul Sofyan.
“Ya Nggak apa-apa lah, kan Mifta juga sudah bisa naik sepeda motor dan juga dia sudah punya SIM”. Tegas Sofyan mempertahankan usulannya.
“Tapi kan….”

**** Bersambung

Senin, 08 November 2010

Ketika Dua Hati Bersatu

           Ketika melihat pasangan yang baru menikah, saya suka tersenyum. Bukan apa-apa, saya hanya ikut merasakan kebahagiaan yang berbinar spontan dari wajah-wajah syahdu mereka. Tangan yang saling berkaitan ketika berjalan, tatapan-tatapan penuh makna, bahkan sirat keengganan saat hendak berpisah. Seorang sahabat yang tadinya mahal tersenyum, setelah menikah senyumnya selalu saja mengembang. Ketika saya tanyakan mengapa, singkat dia berujar "Menikahlah! Nanti juga tahu sendiri". Aih...

           Menikah adalah sunnah terbaik dari sunnah yang baik itu yang saya baca dalam sebuah buku pernikahan. Jadi ketika seseorang menikah, sungguh ia telah menjalankan sebuah sunnah yang di sukai Nabi. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Allah hanya menyebut nabi-nabi yang menikah dalam kitab-Nya. Hal ini menunjukkan betapa Allah menunjukkan keutamaan pernikahan. Dalam firmannya, "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan rasa kasih sayang diantaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kalian yang berfikir." (QS. Ar-Rum: 21).

           Menikah itu Subhanallah indah,jadi teringat kata Almarhum ayah saya dan hanya bisa dirasakan oleh yang sudah menjalaninya. Ketika sudah menikah, semuanya menjadi begitu jelas, alur ibadah suami dan istri. Beliau mengibaratkan ketika seseorang baru menikah dunia menjadi terang benderang, saat itu kicauan burung terdengar begitu merdu. Sepoi angin dimaknai begitu dalam, makanan yang terhidang selalu saja disantap lezat. Mendung di langit bukan masalah besar. Seolah dunia milik mereka saja, mengapa? karena semuanya dinikmati berdua. Hidup seperti seolah baru dimulai, sejarah keluarga baru saja disusun.

           Namun sayang tambahnya, semua itu lambat laun menguap ke angkasa membumbung atau raib ditelan dalamnya bumi. Entahlah saat itu cinta mereka berpendar ke mana. Seiring detik yang berloncatan, seolah cinta mereka juga. Banyak dari pasangan yang akhirnya tidak sampai ke tujuan, tak terhitung pasangan yang terburai kehilangan pegangan, selanjutnya perahu mereka karam sebelum sempat berlabuh di tepian. Bercerai, sebuah amalan yang diperbolehkan tapi sangat dibenci Allah.

           Ketika Allah menjalinkan perasaan cinta diantara suami istri, sungguh itu adalah anugerah bertubi yang harus disyukuri. Karena cinta istri kepada suami berbuah ketaatan untuk selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga. Dan cinta suami kepada istri menetaskan keinginan melindungi dan membimbingnya sepenuh hati. Lanjutnya kemudian.

           Saya jadi ingat, saat itu seorang istri memarahi suaminya habis-habisan, saya yang berada di sana merasa iba melihat sang suami yang terdiam. Padahal ia baru saja pulang kantor, peluh masih membasah, kesegaran pada saat pergi sama sekali tidak nampak, kelelahan begitu lekat di wajah. Hanya karena masalah kecil, emosi istri meledak begitu hebat. Saya kira akan terjadi "perang" hingga bermaksud mengajak anak-anak main di belakang. Tapi ternyata di luar dugaan, suami malah mendaratkan sun sayang penuh mesra di kening sang istri. Istrinya yang sedang berapi-api pun padam, senyum malu-malunya mengembang kemudian dan merdu uaranya bertutur "Maafkan Mama ya Pa..". Gegas ia raih tangan suami dan mendekatkannya juga ke kening, rutinitasnya setiap kali suaminya datang.

           Jauh setelah kejadian itu, saya bertanya pada sang suami kenapa ia berbuat demikian. "Saya mencintainya, karena ia istri yang dianugerahkan Allah, karena ia ibu dari anak-anak. Yah karena saya mencintainya" demikian jawabannya.

           Ibn Qayyim Al-Jauziah seorang ulama besar, menyebutkan bahwa cinta mempunyai tanda-tanda. Pertama, ketika mereka saling mencintai maka sekali saja mereka tidak akan pernah saling mengkhianati, Mereka akan saling setia senantiasa, memberikan semua komitmen mereka.

            Kedua, ketika seseorang mencintai, maka dia akan mengutamakan yang dicintainya, seorang istri akan mengutamakan suami dalam keluarga, dan seorang suami tentu saja akan mengutamakan istri dalam hal perlindungan dan nafkahnya. Mereka akan sama-sama saling mengutamakan, tidak ada yang merasa superior.
Ketiga, ketika mereka saling mencintai maka sedetikpun mereka tidak akan mau berpisah, lubuk hatinya selalu saling terpaut. Meskipun secara fisik berjauhan, hati mereka seolah selalu tersambung. Ada do'a istrinya agar suami selamat dalam perjalanan dan memperoleh sukses dalam pekerjaan. Ada tengadah jemari istri kepada Allahi supaya suami selalu dalam perlindunganNya, tidak tergelincir. Juga ada ingatan suami yang sedang membanting tulang meraup nafkah halal kepada istri tercinta, sedang apakah gerangan Istrinya, lebih semangatlah ia.

            Saudaraku, ketika segala sesuatunya berjalan begitu rumit dalam sebuah rumah tangga, saat-saat cinta tidak lagi menggunung dan menghilang seiring persoalan yang datang silih berganti. Perkenankan saya mengingatkan lagi sebuah hadist nabi. Ada baiknya para istri dan suami menyelami bulir-bulir nasehat berharga dari Nabi Muhammad. Salah satu wasiat Rasulullah yang diucapkannya pada saat-saat terakhir kehidupannya dalam peristiwa haji wada':

"Barang siapa -diantara para suami- bersabar atas perilaku buruk dari istrinya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Ayyub atas kesabarannya menanggung penderitaan. Dan barang siapa -diantara para istri- bersabar atas perilaku buruk suaminya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang Allah berikan kepada Asiah, istri fir'aun" (HR Nasa-iy dan Ibnu Majah ).

Kepada saudaraku yang baru saja menggenapkan setengah dien, Tak ada salahnya juga untuk saudaraku yang sudah lama mencicipi asam garamnya pernikahan, Patrikan firman Allah dalam ingatan : "...Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian adalah pakaian bagi mereka..." (QS. Al-Baqarah:187)

Torehkan hadist ini dalam benak : "Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan begitu pula dengan istrinya, maka Allah memperhatikan mereka dengan penuh rahmat, manakala suaminya rengkuh telapak tangan istrinya dengan mesra, berguguranlah dosa-dosa suami istri itu dari sela jemarinya" (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar-Rafi' dari Abu Sa'id Alkhudzri r.a)

Kepada sahabat yang baru saja membingkai sebuah keluarga, Kepada para pasutri yang usia rumah tangganya tidak lagi seumur jagung, Ingatlah ketika suami mengharapkan istri berperilaku seperti Khadijah istri Nabi, maka suami juga harus meniru perlakukan Nabi Muhammad kepada para Istrinya. Begitu juga sebaliknya.

Perempuan yang paling mempesona adalah istri yang shalehah, istri yang ketika suami memandangnya pasti menyejukkan mata, ketika suaminya menuntunnya kepada kebaikan maka dengan sepenuh hati dia akan mentaatinya, jua tatkala suami pergi maka dia akan amanah menjaga harta dan kehormatannya. Istri yang tidak silau dengan gemerlap dunia melainkan istri yang selalu bergegas merengkuh setiap kemilau ridha suami.

Lelaki yang berpredikat lelaki terbaik adalah suami yang memuliakan istrinya. Suami yang selalu dan selalu mengukirkan senyuman di wajah istrinya. Suami yang menjadi qawwam istrinya. Suami yang begitu tangguh mencarikan nafkah halal untuk keluarga. Suami yang tak lelah berlemah lembut mengingatkan kesalahan istrinya. Suami yang menjadi seorang nahkoda kapal keluarga, mengarungi samudera agar selamat menuju tepian hakiki "Surga". Dia memegang teguh firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..." (QS. At-Tahrim: 6)

Akhirya, semuanya mudah-mudah tetap berjalan dengan semestinya. Semua berlaku sama seperti permulaan. Tidak kurang, tidak juga berlebihan.Meski riak-riak gelombang mengombang-ambing perahu yang sedang dikayuh, atau karang begitu gigih berdiri menghalangi biduk untuk sampai ketepian. Karakter suami istri demikian, Insya Allah dapat melaluinya dengan hasil baik. Sehingga setiap butir hari yang bergulir akan tetap indah, fajar di ufuk selalu saja tampak merekah. Keduanya menghiasi masa dengan kesyukuran, keduanya berbahtera dengan bekal cinta. Sama seperti syair yang digaungkan Gibran,

Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan
Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan
Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta
Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada
Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari
Dan sebuah nyanyian kesyukuran tersungging di bibir senyuman

Semoga Allah selalu menghimpunkan kalian (yang saling mencintai karena Allah dalam ikatan halal pernikahan) dalam kebaikan. Mudah-mudahan Allah yang maha lembut melimpahkan kepada kalian bening saripati cinta, cinta yang menghangati nafas keluarga, cinta yang menyelamatkan. Semoga Allah memampukan kalian membingkai keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah.

Semoga Allah mematrikan helai keikhlasan di setiap gerak dalam keluarga. Jua Allah yang maha menetapkan, mengekalkan ikatan pernikahan tidak hanya di dunia yang serba fana tapi sampai ke sana, the real world "Akhirat". Mudah-mudahan kalian selamat mendayung sampai ketepian.
Allahumma Aamiin.

Barakallahu, untuk para pengantin muda. Mudah-mudahan saya mampu mengikuti tapak kalian yang begitu berani mengambil sebuah keputusan besar, yang begitu nyata menandakan ketaqwaan kepada Allah serta ketaatan kepada sunnah Rasul Pilihan. Mudah-mudahan jika giliran saya tiba, tak perlu lagi saya bertanya mengapa teman saya menjadi begitu murah senyum. Karena mungkin saya sudah mampu

menemukan jawabannya sendiri.

* NN

Minggu, 07 November 2010

Mencari Senyum


Helvy Tiana Rosa

Seorang lelaki tua dengan langkah tertatih-tatih memasuki sebuah kota. Wajahnya kusut, matanya liar dan pakaiannya kumal. Beberapa orang yang berpapasan dengannya segera menyingkir.

Di suatu tempat, di bawah sebuah pohon setua dirinya, lelaki itu tersungkur. Perlahan ia mencoba bangkit dan kembali memandangi orang yang lalu lalang di kota itu.

Lelaki Tua: “Tolong…! Tolonglah aku! Tolong…!” (mengiba, mengulang-ulang perkataannya)

Dua lelaki muda melintas di hadapannya. Memandang sekilas kemudian menghampirinya. Lelaki tua itu terus merintih-rintih. Beberapa orang lewat begitu saja tanpa peduli.

Lelaki 1: “Ada apa, Pak? Ada apa?” (memegang tangan, membimbing lelaki tua itu bangkit)

Lelaki 2: “Ya, apa ada yang bisa kami bantu?” (prihatin)

Lelaki Tua: “Tolonglah saya. Tolong! Saya…saya mencari sesuatu yang telah tak ada lagi di kota kami.”

Dua lelaki muda itu saling berpandangan heran.

Lelaki 1: “Sesuatu yang tak ada lagi di kota bapak?”

Lelaki Tua: “Ya…,aku mencari sesuatu yang sangat berharga, yang tiba-tiba saja tercerabut dari wajah semua orang di kota kami.” (manggut-manggut, sedih)

Lelaki 1 dan lelaki 2: “Apa itu…?”

Lelaki Tua: (menerawang penuh harap) “Sebuah senyuman.”

Lelaki 1 dan 2: “Senyuman?”

Lelaki 1: “Aneh. Bapak bilang bapak mencari sebuah senyuman. Apa saya tidak salah dengar?”

Lelaki Tua: (menggeleng-gelengkan kepala) “Ya, aku sudah berjalan begitu jauh, mencari sebuah senyuman.”

Lelaki 2: “Jangan bergurau! Semua manusia diciptakan dengan wajah. Di dalam wajah kita, ada bibir yang bisa digerakkan begini, begini dan begitu (menggerakkan bibirnya ke depan, ke samping dan sebagainya dengan kesal).

Lelaki 1: “Ya, bahkan orang segila apa pun masih memiliki senyuman. Aku benar-benar tak mengerti. ”

Lelaki Tua: “Kalau begitu kalian menganggapku lebih dari gila!? (sewot). Dengar, aku tidak mengada-ada! Semua orang di kotaku sudah tak bisa lagi tersenyum! Titik!”

Lelaki 1 dan 2 saling berpandangan kembali.

Lelaki 1 : (menarik napas panjang, menggaruk-garuk kepala yang tak gatal) “ Baiklah. Sesuatu terjadi tentu ada sebabnya. Mungkin aku pun telah gila, tetapi aku ingin tahu hal apa yang menyebabkan penduduk di kota kalian tak bisa tersenyum?”

Lelaki 2: “Ya, apa ada orang-orang yang berkeliaran dan menjahit semua bibir penduduk di kotamu, sehingga mereka tak bisa lagi tersenyum atau membuka mulut untuk tertawa?” (mengejek)

Lelaki Tua: (menggeleng, serius) “Tidak. Bahkan jahitan-jahitan di mulut kami telah dilepaskan. Dulu memang penduduk kota kami tidak bisa bicara, kecuali (mencontohkan) Hm…hm…(mengangguk-angguk), tetapi kini, setelah jahitan-jahitan dilepaskan dari bibir kami, entah mengapa bibir kami menjadi kebas. Kami bebas berkata-kata tetapi tak bisa lagi tersenyum. Bahkan, bila kami mencoba untuk tertawa yang keluar adalah amarah, tangisan dan airmata….”

Lelaki 2: “Aku tak mengerti. Aku benar-benar tak mengerti. Lebih baik aku pergi daripada mendengarkan celotehan orang gila ini!” (kesal dan berbalik akan pergi)

Lelaki 1: (mengejar lelaki 2 yang bergegas pergi) “Tunggu, teman! Tetapi…kurasa, entahlah…, ia datang dari jauh, mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, dan mungkin kita bisa kita menolongnya.”

Lelaki 2: (cemberut) “ Menolong? Bagaimana menolong orang gila ini?”

Lelaki 1 bergegas menghampiri lelaki tua itu.

Lelaki 1: “Katamu seluruh penduduk di kotamu tak dapat lagi tersenyum?”

Lelaki Tua: (manggut-manggut): “Ya…,ya….”
Lelaki 1: “Berarti kau juga?”

Lelaki Tua: (manggut-manggut lagi) “Tentu saja!”

Lelaki 1 bergegas kembali menghampiri Lelaki 2. Wajahnya lebih cerah.

Lelaki 1: “Dengar, lelaki tua itu mengaku bernasib sama dengan seluruh penduduk di kotanya! Ia juga tak bisa tersenyum! Tugas kita adalah menolongnya agar ia bisa tersenyum lagi! Nah, setelah ia bisa tersenyum kembali, mungkin hal ini akan berpengaruh pada para penduduk kota itu.”

Lelaki 2: (Bengong) “Jadi…kita harus membuatnya tersenyum?“

Lelaki 1: “Ya, tunggulah sebentar di sini. Aku akan menyuruh orang membawa makanan dan minuman yang enak untuknya. Siapa tahu ia akan tersenyum.”

Lelaki 2: “Tentu saja (setuju, yakin), ia akan tersenyum dan berterimakasih pada kita.”

Lelaki 1 meninggalkan tempat itu. Lelaki 2 sesekali memperhatikan si lelaki tua. Wajah lelaki tua itu keras, dingin, dan penuh curiga.

Tak lama, Lelaki 1, kembali bersama seorang lelaki lain bergaya genit (lelaki 3) yang membawa baki penuh berisi makanan dan minuman yang enak. Mereka meletakkan nampan besar itu di hadapan si lelaki tua.

Lelaki 1: “Ini kubawakan makanan dan minuman lezat. Nikmati dan tersenyumlah.”

Lelaki Tua: (memakan makanan dan minuman itu dengan rakus) “Terimakasih….”

Lelaki 2: (menghampiri) “Mengapa kau tak mengucapkan terimakasih sambil tersenyum pada kami?”

Lelaki Tua : “Sudah kukatakan, aku tak bisa tersenyum!”

Lelaki 1,2,3 saling berpandangan.

Lelaki 2: “Aku akan menggelitik kakinya. Biasanya bila digelitik, orang pasti akan tertawa!”

Lelaki 1 : “Ya, ya…, ide yang bagus!”

Lelaki 3: (bindeng) “Aih, ike juga setuju!”

Lelaki 2 segera menggelitik kaki lelaki tua itu, tetapi tak ada reaksi. Ia menggelitik sekujur badan orangtua itu. Sia-sia. Lelaki tua tersebut tak juga tertawa. Akhirnya ketiga lelaki itu menggelitik sekujur badannya secara bersamaan.

Lelaki Tua: “Aduh…aduh, sakit! Aduh perih! A…duh!” (mengerang)

Lelaki 1,2,3: (Terkejut, menghentikan tindakan mereka) “Sakit? Perih?”

Lelaki 2: “Mengapa kau tak tersenyum? Seharusnya kau tertawa! Orang akan tertawa bila kegelian!”

Lelaki tua: (melotot) “Aku tidak bisa, tahu! Bodoh! Bukankah sudah kukatakan sejak tadi, aku tak bisa lagi tersenyum. Jadi berhentilah melakukan hal yang konyol! Tolong aku, anak muda!”

Lelaki 1,2,3 berpandangan keheranan.

Lelaki 1: (bangkit) “Sebentar, aku punya akal!” (pergi)

Lelaki 2 dan 3 bangkit sambil memandang lelaki tua itu sebal. Mereka bolak-balik di hadapan lelaki tua itu sambil memikirkan cara membuatnya tersenyum. Sesekali lelaki 2 nyengir kuda melihat gaya lelaki 3 yang centil. Tetapi lelaki tua itu sama sekali tak bergeming.

Lelaki 3 (bindeng): (berlari gembira menghampiri lelaki tua itu) “Aih, aku punya dollar yang banyak! Kau mau? Ambillah? Nih, ini! Semua menjadi milikmu!”

Lelaki Tua: “Untukku? Boleh.” (memasukkan semua dolar ke sakunya).

Lelaki 3 : (bengong, bindeng) “Mana ucapan terimakasihmu?”

Lelaki Tua: “Terimakasih.” (datar)

Lelaki 3: (kesal, bindeng) “Di mana-mana, orang itu kalau dikasih bantuan, apalagi uang, matanya berbinar-binar, hati menjadi girang dan ia akan tersenyum bahkan tertawa. Bagaimana sih?”

Lelaki Tua: (cemberut) “Ngasih kok nggak ikhlas. Sudahlah, tolong saja aku dan para penduduk kota agar bisa tersenyum kembali….”

Lelaki 2 dan 3: “Huh!” (kesal)

Tiba-tiba, lelaki 1 datang bersama seorang badut yang lucu sekali. Badut itu menari-nari, menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Sang Badut mengitari lelaki tua dan mencoba terus menghiburnya.
Badut (jenaka) : “Apakabar, Pak tua? Tralala trilili, aku pelucu, penghibur semua orang (tertawa-tawa), janganlah takut!” (badut memamerkan berbagai aksi lucu)

Lelaki 1,2,3 : (tertawa dan bertepuk tangan melihat aksi badut)

Lelaki tua itu menatap Sang Badut agak lama, lalu di luar dugaan, ia malah menangis. Lambat laun tangisan itu berubah isakan yang semakin kencang. Lelaki 1,2 dan 3 keheranan.

Lelaki Tua: ( Menangis, sedih sekali) “Mengapa harus ada orang sepertimu? (menunjuk-nunjuk badut). Setelah tiga puluh dua tahun kepedihan ini kau muncul dengan konyolnya.”

Lelaki 3: “Aih, apa maksudmu, Pak Tua!”

Lelaki 1: “Ya, bukankah seharusnya badut dapat membuat orang tersenyum dan tertawa?”

Lelaki Tua: (menangis)“Sungguh, aku telah melihat badut-badut bermunculan tahun ini di sepanjang jalan di kota kami. Seolah mereka adalah pahlawan yang bisa mengurangi derita dan membuat kami menyunggingkan senyuman. (mencoba berhenti menangis) Dengar! Kami hanya bisa menertawakanmu dalam kegetiran terpencil di sudut sanubari kami. Kalian tak bisa membodohi kami. Sebab kalian cuma badut! Bahkan bila kalian mengenakan jas, dasi atau sorban sekali pun! Senyumku bukan untuk orang seperti kalian!”

Lelaki 2: “Oh, Tuhan! Aku tak mengerti! Ia malah marah!”

Badut: (Kesal) “Ya, sudah. Lebih baik aku pergi.”

Lelaki 1 dan 2 berpandangan bingung sambil menggelengkan kepala. Lelaki 3 dengan centil melambai-lambaikan tangannya pada Sang Badut.

Lelaki 3: “Aih, daaag, Om Badut!”

Suram. Ke empat lelaki itu termenung sesaat.

Lelaki Tua: (berjalan,mencari, mendamba)“Senyuman…,di mana senyuman itu? Aku ingin membawa berjuta senyuman kembali ke kota kami…, senyuman…mana senyuman itu? Kehidupan kota kami bagai mati tanpa senyuman….” (merintih sedih)

Hening.

Lelaki 1: (berteriak) “Pak Tua! Hei, Pak Tua! Sebenarnya siapakah yang mengambil semua senyuman dari kota kalian!?”

Lelaki 2: “Ya! Itu yang belum kau ceritakan pada kami!”

Lelaki Tua: (mengernyitkan kening, menggelengkan kepala, menerawang) “Aku tidak begitu pasti. Mereka para penjarah.”

Lelaki 2: “Penjarah? Apa yang mereka jarah?”

Lelaki Tua: “Apa saja. Harta, kedudukan bahkan kehormatan. Mereka menjarah beras, gula juga perempuan. Mereka membakar dan membuat onar. Memaksa kami menggigil karena takut dan lapar, setiap malam dan siang. Mereka bermain-main dengan darah lalu tiba-tiba para ulama kami mati. Kemudian tak ada lagi senyum yang bisa kami temukan. Semua senyum mereka rampas, untuk mereka bagikan pada orang-orang gila yang kini berkeliaran di kota kami…. “

Hening lagi.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk. Lelaki-lelaki itu mencari arah datangnya suara dan terkejut melihat banyak orang menuju ke arah mereka. Wajah orang-orang itu seperti mencari sesuatu. Lelaki 1 segera menghampiri salah seorang di antara mereka.

Lelaki 1: “Siapa kalian? Darimana dan hendak kemana?”

Orang 1: “Kami mencari orang-orang yang bercahaya.”

Lelaki 2: (menghampiri) “ Orang-orang yang bercahaya?Apa maksudmu?”

Orang 1: “Kami telah kehilangan senyuman. Hanya orang-orang bercahaya yang bisa mengembalikan senyum kami.”

Lelaki Tua : ( tersentak, tergopoh-gopoh) “Jadi kalian juga seperti aku? Hidup tanpa senyuman?”

Orang-orang itu mengangguk-angguk.

Lelaki Tua: “Dan hanya orang-orang yang bercahaya, yang bisa membuat kita kembali tersenyum?”

Orang 1: “Ya.”

Lelaki 2: “Siapa mereka? Di mana mereka?”

Orang 1: “Entahlah. Kita bisa jelas mengetahui, ketika kita melangkah di jalan cahaya….”
Lelaki Tua: “Melangkah di jalan cahaya?”

Orang 1: “Ya, melangkah di jalan cahaya!”

Orang-orang itu mengangguk-angguk dan segera berlalu dari hadapan mereka. Tiba-tiba lelaki tua menyusul. Ia berlari ke arah orang-orang itu.

Lelaki Tua: “Aku ikut! Cahaya! Cahaya!” (berlari meninggalkan ketiga lelaki yang tampak bingung).

Lelaki 3: “Aih, masak sih senyuman begitu susah dicari. Sampai harus menuju cahaya segala. Lihat nih (pada lelaki 2), senyumku manis kan?”

Lelaki 2: (melompat, terbelalak) “Itu bukan senyuman! (pada Lelaki 1) Teman, lihatlah, seringainya! Menyeramkan!”

Lelaki 3: (bingung, mencoba tersenyum, tetapi yang tampak seringai yang mengerikan)

Lelaki 1: “Benar! Kkkau menakuti kami! Seharusnya kau tersenyum. Lihat senyumku, ini…”

Lelaki 3: (takut) “Aih, tolong!! Senyummu membuatku takut! Toloooong!” (lari meninggalkan Lelaki 1 dan Lelaki 2).

Lelaki 2: “Berhenti tersenyum! Kau menyeramkan. Nah, lihat senyumku (mencoba tersenyum, tetapi kaku) “A…apa yang terjadi…, a…aku tak bisa tersenyum….”

Lelaki 3: (memegang bibirnya) “A…aku juga…,mengapa bisa begini? Apa yang…sebenarnya terjadi?”

Panik.

Lelaki 1 dan 2: (sedih, bingung) “Senyuman…, di mana senyuman? (mencari, melangkah tak tentu arah) Cahaya…, cahaya… di mana cahaya? Senyuman…senyuman… di mana senyuman…? Cahayaaaa!?? Senyumaaaann!?? Senyumaaaan!?? Cahayaaaa!??”